Tuesday, March 20, 2007

Ijin Cuti

Sahabat semua,

Saya mohon ijin untuk cuti InsyaAllah paling lama sebulan dari kegiatan blogging yang sangat mencerahkan ini. Alasannya klise tapi nyata: kesibukan kuliah & kerja.

Saat ini saya sedang menyusun thesis untuk kuliah saya di Ekonomi Syariah Pasca Sarjana UI, dan saya juga InsyaAllah tengah mempersiapkan lanching produk baru di bisnis saya.

Berhubung sehari cuma 24 jam dan seminggu hanya 7 hari, terpaksa saya absen ngeblog dulu selama sebulan ya.. tapi, kalau tiba-tiba saya kangen berat dan ada sedikit waktu.. jangan ketawain kalau saya sesekali mampir ke blog sahabat semua ya..

Mohon doanya, dan semoga Allah melancarkan segala urusan sahabat semua. I love you all..

Belum-belum kok udah kangen ngeblog ya.. hik hik (lhoo mewek..)

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Thursday, March 8, 2007

Oleh Oleh Java Jazz 2007

Mohon maaf karena kesibukan yang luar biasa, sudah 2 minggu ini saya tidak posting & jarang banget ngeblog. Mudah-mudahan oleh-oleh ini berkenan di hati sahabat semua.

Hari Jumat & Sabtu saya hadir di Java Jazz 2007. Hari Ahad, maksud hati kembali menonton, apa daya badan rasanya remuk (makanya.. rajin olah raga dooong.. gimana siih).. Jadi lah saya absen di hari pamungkas perhelatan jazz terakbar di negeri ini.

Jumat ba’da magrib saya memarkir mobil di TVRI lalu jalan kaki ke JHCC. Firasat saya benar. Antrian kendaraan luar biasa panjangnya sampai-sampai seorang teman memerlukan sejam lebih untuk memperoleh tempat parkir. Alhamdulillah tak sampai 10 menit saya sudah sampai di pintu gerbang JHCC dan disambut oleh ucapan selamat datang khas konser: ”karcis-karcis.. perlu berapa lembar Pak? Kalau ada lebih kita beli deh..”. Dan saya tentu menjawab dengan ucapan standar: “Nggak mas, saya sudah ada tiketnya.. nggak ada lebih kok mas.. permisi..permisi..” sambil meminta jalan untuk lolos dari kerumunan calo.

Baru beberapa detik menghirup udara segar, rombongan penyambut lainnya menghampiri dengan gegap gempita: “Kaosnya Pak..25 ribu satu.. bisa kurang kok.. mau beli berapa..” dan seperti kaset rusak saya terus mengulang-ulang mantra mustajab “Nggak mas, terimakasih..terimakasih.. permisi..permisi..”

Hentakan beat 1/16 berirama cepat dari sebuah band asal Bandung menyambut saya di gerbang utama. Lalu saya pun larut dalam bahasa ritme, nada, tempo dan aksi yang tersaji dari puluhan panggung di JHCC. Dalam perjalanan menikmati bahasa musik ini, tanpa sadar saya membagi bahasa jazz menjadi 2, yaitu: Bahasa Dia dan Bahasa Aku.

Bahasa Dia terdiri dari nada-nada blues, swing, dixie, fusion, latin jazz dan banyak lagi. Benny Mustafa & Oele Patiselano, Maliq & D’Essential, Sergio Mendez, Chaka Khan adalah mereka yang menggunakan Bahasa Dia.

Bahasa Aku terdiri dari nada-nada Bahasa Dia yang sudah diperkaya dengan nada etnis khas Indonesia. Balawan Trio (Bali), Dwiki Dharmawan & Pra Budi Dharma cs (Krakatau), Elfa Secioria adalah diantara mereka yang menggunakan Bahasa Aku.

Namun pembagian ini akhirnya melebur pada satu titik. Keindahan ciptaan Allah. Gending bali, kecak, biola dan hentakan fusion membuat saya bertasbih mengagumi aura cantiknya pantai dan gunung-gunung Indonesia. Lengkingan suara blues Diane Schuur tanpa musik, mengajak saya bertakbir membayangkan indahnya kemerdekaan yang dirasakan budak-budak hitam di sepanjang sungai Mississippi. Alunan saxophone Sadao Watanabe bersama ratusan anak-anak dalam konser khusus Children Are The Future mengundang saya bertahmid dan menangis menyadari manisnya dunia kanak-kanak yang tidak mengenal batas agama, bangsa, dan warna kulit. Indahnya ciptaan Allah. Subhanallah.

Selain menjadi ajang berkomunikasi dengan Allah melalui musik, Java Jazz menjadi tempat silaturahim – tanpa sengaja – dengan begitu banyak sahabat. Dari sahabat jaman SMU, kuliah, teman2 siaran radio di Bandung, dan teman bisnis sampai mahasiswi saya di Universitas BINUS International. Semua saling sapa dengan satu bahasa. Jazz.

Dan yang serunya, Java Jazz ternyata seperti di Hollywood Walk of Fame. Banyak banget selebritis hilir mudik, berjingkrak-jingkrak, dan mengantri demi Jazz. Suasana campur aduk ini ternyata tidak mengenal lagi batas usia. Saya, istri saya dan kedua anak saya semua larut dalam bahasa Jazz. Kami bicara nada dan ritme yang sama, walaupun berbeda generasi. Seru banget deh.

Dari semua penampilan, saya paling menikmati konser Children of The Future nya Sadao Watanabe yang diprakarsai oleh UNICEF. Ada 3 alasan. Pertama, konser ini menyatukan keceriaan anak-anak dari negara, ras, & agama yang berbeda dalam bahasa Jazz dengan pesan tunggal: Perdamaian. Kedua, konser ini menampilkan perkusi dan gamelan tradisional Indonesia yang amat sangat kaya ritme. Ketiga – ini alasan yang agak pribadi hehe.. – anak perempuan saya yang berusia 10 tahun tampil bersama Elfa Music School Choir mengiringi Aki Nabe (panggilan sayang anak-anak Elfa untuk Sadao Watanabe).

Konser ini dibuka oleh penampilan solo saxophone Sadao dengan bandnya yang asli Jepang dengan seluruh peralatan musiknya yang made in Japan. Dan lagu-lagu jazz Sadao adalah tipikal lagu lagu jazz Jepang yang marketable. Yaitu jazz yang enak didengar yang tidak banyak mengambil nada miring. Coba dengar lagu-lagunya Casiopea, Himiko Kikuchi, Akira Jimbo, dll. Mau beat yang kenceng atau slow, nada2nya banyak meramu tuts2 mayor dengan blues. Dan jarang menggunakan tuts mainstream yang sering bikin kuping keriting. Asyik dan mudah menerbitkan selera orang untuk berjingkrak.

Kemudian ratusan anak2 berkaos kuning berlarian ke panggung dan menyanyikan lagu Share The World. Anak2 ini adalah gabungan sekolah-sekolah International dan Elfa Music School. Ada anak Bule, Cina, Jepang, India, dan Indonesia yang menyanyikan lirik campuran berbahasa Jepang dan Inggris. Lucu banget melihat anak Bule, India, dan Indonesia (termasuk Ify anak saya) dengan fasih melantunkan kata-kata: we are the children of the world, to oku no kunikara, ashitano hikariga, to do ku yo, we are the music of the world, kokoroni egako-o, o-o kina o-o kina, go se n shi.

Lalu masuklah puluhan anak-anak dan remaja yang membawa perkusi dari berbagai daerah di Indonesia (termasuk bedug mesjid), gamelan dan perkusi dari Jepang. Mereka adalah murid-murid sekolah internasional, SMU Depok, dan Sekolah Musik Farabi pimpinan Dwiki Dharmawan. Rombongan ini lalu memenuhi udara Plenary Hall dengan hentakan perkusi beritme funky. Ada anak Jepang memukul bedug, remaja bule yang memainkan gendang sunda, anak India yang memainkan drum band. Dan disini saya merinding mendengarkan hentakan rampak kendang dari Sunda yang ternyata sangat kaya ritme. Ketika sedang latihan, Sadao Watanabe sampai terkagum-kagum melihat hentakan dan aksi panggung kelompok rampak kendang ini. Subhanallah, Allah memang menganugerahkan Indonesia dengan kekayaan budaya yang luar biasa.

Setelah itu Elfa Music School Choir menunjukkan kebolehannya menyanyikan lagu-lagu daerah seperti Yamko Rambe Yamko, Bungong Jeumpa, dan Janger. Lagu-lagu yang pernah ditampilkan di Xia Men, Cina yang membawa EMS Choir ini menjadi juara satu lomba Choir sedunia. Lagi-lagi air mata saya menetes karena bangganya dengan kekayaan seni budaya yang diberikan Allah pada kita. Semoga kita mampu menjaga amanah ini.

Saya bersyukur Allah menjadikan saya orang Indonesia..
Saya bersyukur Allah menciptakan jazz..
Saya bersyukur Allah menganugerahkan jazz soul dalam jiwa Ify, anak perempuan saya..