”Sebelum nyoba, aku mau tanya. Apa sih rasanya merokok?” Kata-kata itu merupakan petir di siang bolong yang mampir ke ponsel istri saya dalam bentuk sms. Dan petir itu malam ini muncul kembali dari mulutnya dan terasa benar menyengat jantung.
Rasanya baru kemarin saya mengantarnya masuk Taman Kanak Kanak dan sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan menyenangkan seperti: pelangi itu merah kuning hijau, kupu-kupu itu berawal dari ulat & kepompong, Tele Tubbies itu terdiri dari Tinky Winky, Dipsy, Lala, & Po dll.
Tapi kelihatannya kami sudah harus mulai mempersiapkan diri untuk menerima pertanyaan-pertanyaan semacam rokok di atas dan sebentar lagi – saya yakin – soal seks dan pacar (saya ternyata belum siap melihat anak saya tumbuh remaja dan berubah..hik..). Akhirnya semalam sebelum tidur dan sesudah shalat Subuh hari ini, kita berdiskusi panjang soal rokok. Man to man.
Ada 3 hal yang kita diskusikan: (1) kenapa orang mulai merokok? (2) apa rasanya rokok? (3) apakah ia boleh merokok?
Topik (1): Kenapa orang mulai merokok? Anak saya tau bahwa saya mantan perokok. Tapi dia baru tau kalau saya memulainya karena lingkungan saya yang perokok. Ayah, paman, tante, sepupu banyak yang merokok. Terlebih lagi teman-teman saya, sehingga saya terbawa dan tak ada yang memberi tahu saya soal bahayanya merokok. Tapi sesungguhnya ini pilihan buruk dan kalau saja saya bisa menggunakan alat Pak Haji Deddy Mizwar di serial TV Lorong Waktu untuk kembali ke masa lalu, saya memilih untuk tidak merokok. Anak saya mengakui bahwa teman-temannya mengajak dia untuk merokok dan dia sedang berpikir untuk melakukannya demi mendapat pengakuan pertemanan. Saya lalu membeberkan data-data mudharat merokok (dibahas di topik 3 di bawah) sebagai ongkos pertemanannya. Karena anak saya tahu betapa terpukulnya saya ketika sahabat saya yang perokok akhirnya meninggal akibat kanker lidah, dia bisa merasakan atmosfir mahalnya ongkos tersebut.
Topik (2): Apa rasanya rokok? Awalnya pahit dan bikin pusing. Ketika SD saya pernah merokok diam-diam bersama adik-adik sepupu di gudang belakang rumah. Akibatnya kita semua pusing dan muntah berjamaah. Tapi rupanya rasa ”bergaya” dan ”solidaritas teman” mengalahkan sunatullah yang ada di tubuh saya. Akhirnya saya pun kecanduan rokok yang dalam batas-batas tertentu memang membuat saraf menjadi rileks. Dan rasa rileks itulah yang akhirnya menutup nalar kita untuk berani melihat bahaya merokok. Aah, yang kena kanker pasti orang lain.. saya pasti tidak akan kena.. demikian nalar saya membuat logika yang tidak nalar. Tapi tetap saja walaupun sudah jadi perokok berat, saya tidak tahan bila merokok di ruang tertutup dan ber AC. Pasti saya langsung menunjukkan gejala kehamilan (pusing, mual, muntah). Jadi memang rasanya tidak selalu nikmat.
Topik (3) apakah anak saya boleh merokok? Kita akhirnya berdiskusi mengenai fikih, statistik, dan pengalaman pribadi. Yusuf Qardhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1 menjelaskan bahwa ada 3 jenis pendapat ulama soal rokok. Ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan menghalalkan. Yusuf Qardhawi sendiri termasuk mengharamkannya dengan alasan: (a) Memabukkan. Bisa menjadikan pikiran kacau, menghilangkan pertimbangan akalnya, menjadikan nafasnya sesak dan dapat teracuni. Ingat gejala kehamilan di atas? Kayaknya ini yang dimaksud. (b) Menimbulkan mudharat pada badan dan harta. Dimana mudharatnya? Saya sendiri baru 3 tahun terakhir ini berhenti karena banyak teman-teman yang meninggal akibat rokok. Ada yang karena serangan jantung, kanker lidah, dan kanker paru-paru. Belum lagi teman-teman yang masih hidup tapi terserang stroke, mengidap penyakit jantung dan kanker yang juga akibat rokok. Ketika saya menengok almarhum sahabat saya di RS Kanker Dharmais, dokter mengatakan bahwa 80% pasien Dharmais adalah perokok. Data-data yang diumumkan Fakultas Kedokteran Inggris juga cukup mendukung fatwa ini:
[1] setiap tahun 27.500 orang Inggris meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34-65 tahun
[2] setiap tahun 155.000 orang Inggris akan mati dimana 72% nya diakibatkan oleh penyakit paru-paru sebagai akibat langsung dari kebiasaan merokok.
[3] perokok Inggris kebanyakan meninggal akibat penyakit paru-paru, saluran pernafasan, jantung, tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan. Anak-anak yang lahir dari rahim perokok lebih banyak mati karena keguguran.
Secara fikih, saya sendiri mengambil pendapat yang memakruhkan. Artinya saya selalu berusaha sekuat mungkin menjauhi rokok, kecuali ada hal-hal yang lebih mendatangkan manfaat.
Dalam kasus ini saya dihadapan pada pilihan: satu, melarang anak saya merokok dengan resiko dia akan merokok di belakang saya serta cenderung tertutup dengan masalah-masalahnya. Dua, membiarkan dia merokok dengan resiko saya di jauhi dari Cinta Allah karena membiarkan anak saya menjalankan hal-hal yang makruh. Tiga, adakah pilihan ke tiga?
Setelah menimbang-nimbang sejak semalam, saya berijtihad dan membuat pilihan ke tiga yaitu: mengajak anak saya merokok bersama satu kali untuk menghilangkan rasa penasarannya, tapi kemudian melarangnya merokok selama ia masih menjadi tanggungan saya. Tentu saya tidak akan melakukan pendekatan ini untuk hal-hal yang jelas-jelas haram seperti makan babi atau minum alkohol demi memenuhi rasa penasarannya. Namun karena saya menggunakan fatwa makruh untukn rokok, maka saya berani mengambil pendekatan ini. Tapi apa manfaatnya pendekatan ini? Mempertahankan keterbukaan anak saya terhadap orang tuanya. Menurut saya, keterbukaan anak saya itu lebih penting untuk dipertahankan dibanding membiarkan dia penasaran terhadap rokok. Ketika usianya bertambah, akan lebih banyak lagi masalah yang memerlukan keterbukaan dan diskusi antara dia dan orang tuanya. Saya tidak ingin mematikan semangat keterbukaan dan kejujurannya ini.
Dalam mengambil langkah di atas, saya mengambil kaidah fikih yang dijelaskan oleh Yusuf Qordhowi dalam buku Fiqh Prioritas:
"Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar".
"Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan".
Saya menganggap bahwa merokok sekali sebagai kerusakan kecil atau sementara. Sedangkan keterbukaan merupakan maslahat yang lebih besar dan sifatnya berkesinambungan. Mudah-mudahan tidak salah. Bila salah, hanya pada Allah lah saya minta ampun.
Ketika saya menawarkan mencoba merokok bersama, anak saya terheran heran. Dia tidak mengira bahwa saya akan keluar dengan tawaran tersebut. Namun diluar dugaan, dia malah berkata bahwa dia akan mikir-mikir dulu karena setelah berdiskusi ternyata dia kehilangan selera juga untuk memulai merokok. Alhamdulillah. Jadi cerita ini belum tamat dan masih akan bersambung ke episode berikutnya (kalau ada! Mudah-mudahan nggak. Haha).
Saya sendiri tidak yakin apakah pendekatan ini adalah cara terbaik. Namun pengetahuan dan pengalaman saya yang penuh kekurangan ini hanya mampu menghasilkan ijtihad di atas. Bila sahabat-sahabat yang membaca tulisan ini punya saran lain, saya akan sangat berterimakasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua. Amien.
Ucapan terimakasih atas kunjungan dan komentarnya: Azhar; Landy; Ibnu; Nila; Erika; Yoki; Ismansyah; Edwards; Wiku; Wawan; Muhamad Abduh; Phie; Irma Citarayani; N; Akbarsusamto; Andika Dwijatmiko; Anton; Yunis; Arman; cc-line.
Wallahualam Bissawab.