Wednesday, January 23, 2008

Ikhlas & Pasrah dalam Manajemen Diri

Dalam evolusi ilmu manajemen kita mengenal 2 pendekatan utama: objective oriented management & process oriented management. Objective oriented sangat pas untuk era industry yang menitik beratkan pada industry manufaktur yang berfokus pada output. Tak peduli apakah caranya menimbulkan mudarat, sepanjang business objective nya tercapai maka everything is OK. Namun di era teknologi informasi yang menghasilkan masyarakat yang semakin emosional, maka process oriented management lah yang lebih pas. Mengapa? Karena bila sebuah produk melalui proses produksi yang bagus, maka dianggap hasilnya pun akan bagus. Itu lah yang membuat perusahaan-perusahaan berlomba memperoleh sertifikasi ISO yang menunjukkan bahwa prosesnya sudah mengikuti standar dunia.

Sebagai seorang muslim, pendekatan mana yang lebih cocok? Coba tengok kisah Robin Hood. Pahlawan kaum papa tanah Inggris yang mencuri harta si kaya untuk dibagikan pada si miskin. Apakah Islam membenarkan tindakan Robin tersebut? Jawabnya tentu tidak. Mencuri, apa pun alasannya adalah perbuatan dosa. Pada akhirnya kita bisa mengatakan bahwa manajemen dalam Islam adalah: process oriented management. Bila prosesnya sesuai syariah maka InsyaAllah akan memperoleh kebaikan (maslahah) di dunia dan akhirat.

Ilmu manajemen tidak hanya menjadikan organisasi sebagai subyek, tapi juga individu. Steven Covey, Dale Carnegie, Ary Ginanjar adalah contoh orang yang mengembangkan individual development concept & management. Tapi 14 abad yang lalu, seorang buta huruf bernama Muhammad Bin Abdullah – atas perintah Allah -- menyebarkan konsep individual management yang dahsyat yang bernama Islam. Individu diberi visi untuk bertemu Allah kelak di hari kemudian. Misinya di bumi adalah beribadah pada Allah (baca: menjalankan proses yang diridhoi Allah) dan karena itu diberi otoritas sebagai khalifah (pemimpin) bagi dunia, lingkungan, keluarga, dan diri sendiri. Sayangnya, banyak individu yang mencoba menjadi khalifah demi mencari ridho Allah, kemudian terjebak pada perasaan tertekan & stress karena takut tidak mampu menjadi khalifah yang baik. Lalu bagaimana seharusnya sikap hati/perasaan dalam menyikapi peran kita sebagai seorang khalifah?

Dalam satu fase kehidupan saya sebagai seorang khalifah, saya pun mengalami hal perasaan tertekan yang sama. Sebagai khalifah tentu saya harus bertanggung jawab terhadap peran yang saya jalankan. Peran sebagai: suami, ayah, pemimpin perusahaan, tetangga, sahabat, mahasiswa, dosen, jamaah pengajian, dan masih banyak lagi. Sahabat saya bahkan memiliki peran yang jauh lebih banyak dari saya. Namun anehnya outputnya berbeda. Saya sering terlihat stress, dan dia kelihatan selalu tenang dan enjoy aja (bukan iklan rokok ya..)…

Coba bayangkan, ketika dekat anak saya mikirin perusahaan, ketika di kantor saya mikirin tetangga, ketika ngajar saya mikirin gaji pegawai, ketika kuliah saya mikirin istri. Paling parah adalah saya mikirin semua parallel dalam setiap kesempatan. Karena saya takut (dan gengsi) bila apa yang diamanahkan ke saya hasilnya tidak sesuai ekspektasi, maka tekanan demi tekanan mulai merasuki tubuh dan kepala saya. Akibatnya saya jadi pelanggan setia obat-obatan migraine dan sakit kepala.

“Rahasianya, ikhlas dan pasrah Pak.. dan dengarkan rasa hati kita..” jawab sahabat saya, ketika ditanya rahasianya untuk bisa senantiasa tenang dan enjoy.. hmm kata-kata yang sudah sangat sering saya dengar. Tapi karena bukti hidup ada di depan saya, maka saya tertarik menggali lebih jauh mengenai kiat-kiatnya itu.
“Pernah jatuh cinta Pak?” Sahabatku bertanya. Bah pertanyaan macam apa ini? Ya tentu pernah lah..
“Apa yang bapak lakukan bila berada dekat-dekat dengan si dia?” Nah ini pertanyaan susah. Kalau saya jawab semuanya tentu dia akan terbahak-bahak mendengar betapa seorang laki-laki mau dan mampu melakukan hal-hal tolol demi menarik perhatian sang gadis pujaan.
“Apa saja demi menyenangkan hatinya” jawab saya diplomatis, namun jujur.
“Sepenuh hati dan tanpa keterpaksaan ya Pak?” kejarnya lagi. Saya mengangguk mengiyakan.
“Itulah ikhlas pak.. tapi yang menjadi tuhannya adalah gadis pujaan bapak itu.. coba sekarang bapak melakukan hal yang sama tapi demi menyenangkan Allah Yang Maha Suci..maka bapak sudah melakukan Ikhlas dengan makna yang hakiki..” Sekarang saya paham arti ikhlas. Berpuluh-puluh tahun saya dengar kata itu dan hanya berhasil melekat di kuping dan lidah. Tak pernah bisa masuk ke hati. Alhamdulillah.
“Tapi pak, saya malah bisa tambah stress dengan konsep ikhlas ini. Bayangkan, kalau gadis pujaan saya kecewa saja saya bakal uring-uringan. Bagaimana kalau Allah Yang Maha Tinggi yang saya kecewakan? Bisa-bisa masuk rumah sakit saya pak..” saya mulai kuatir.
“Disini perlunya pasrah pak.. pernah naik pesawat pak?” Dan tanpa menunggu konfirmasi, sahabat saya melanjutkan. “ketika bapak di dalam pesawat, tentu bapak memberikan seluruh wewenang untuk menerbangkan pesawat tersebut kepada pilot kan? Bapak tidak akan merasa bertanggung jawab untuk mampu menyopiri pesawat kan? Semuanya bapak pasrahkan pada pilot, dan bapak yakin bahwa pilot tersebut akan membawa bapak sampai ke tempat tujuan. Apakah bapak pernah sepasrah itu kepada Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang?”
Saya mulai paham arah pembicaraan ini. Harus saya akui, selama ini saya menerapkan “objective oriented management”. Buat saya yang penting adalah hasil akhir harus sesuai dengan perencanaan. Padahal Al Quran tidak mengajarkan demikian. Kisah Siti Hajar ketika berlari-lari mencari air antara bukit Safa & Marwa misalnya. Beliau berlari-lari dalam melakukan proses yang sesuai dengan sunatullah. Ia harus berusaha mencari pertolongan demi seteguk air untuk sang anak tercinta, Ismail. Toh akhirnya, pertolongan datang dari arah yang tak terduga. Yang tidak sesuai dengan perencanaan Siti Hajar yang berharap memperoleh air dari orang-orang yang lewat. Malaikat Jibril lah yang menolongnya dengan memukulkan sayapnya pada sebuah batu sehingga keluarlah air Zam Zam.
“Jadi harusnya saya merencanakan dan mengeksekusinya dengan sebaik-baiknya dengan ikhlas, dan memasrahkan hasil akhirnya pada Allah ya Pak?” Saya mulai mendapat pencerahan
“Jadi misalnya anak saya akan menghadapi ujian sekolah, maka saya akan bertanya pada diri sendiri: apa yang harus saya lakukan agar Allah tambah senang pada saya & membuat anak saya siap ujian. Maka saya merencanakan untuk memindahkan pekerjaan saya sebanyak2nya ke rumah sehingga saya bisa pulang cepat dan duduk bersama2 anak saya & guru les nya dan sama2 mempersiapkan ujian tersebut. Tapi ketika waktu tidak memungkinkan saya untuk pulang cepat, maka saya tetap bersyukur (karena pasti ada rencana Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang) sehingga saya mencari jalan lain, misalnya: melakukan telepon pada jam-jam tertentu untuk mendiskusikan kesiapannya, dst. Begitu ya pak? Dan saya tetap memasrahkan penerbangan hidup saya ini pada Pilot Yang Maha Agung yaitu Allah SWT.. kalau nanti hasil ujian anak saya tidak sesuai harapan, maka saya terus bersyukur (karena pasti ada rencana lain Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang) dan berusaha untuk memperbaiki di kemudian hari.. benar begitu?”
Sahabat saya mengangguk2. Tadinya saya pikir dia mengangguk2 karena terkantuk2 mendengar saya berbicara panjang lebar sendirian. Tapi karena dia tersenyum, maka saya yakin dia berbahagia melihat saya memperoleh pencerahan.
“Lalu apa itu mendengarkan rasa hati?” tanya saya lagi
“Suatu ketika Rasulullah SAW melihat sebuah tali diikatkan diantara tiang-tiang mesjid. Beliau menanyakan kegunaan tali tersebut. Ternyata tali itu digunakan untuk menyangga ketika Fatimah shalat malam yang sangat panjang hingga badannya kelelalahan & agar tidak jatuh. Rasul pun menyuruh melepaskan tali tersebut dan menjelaskan bahwa bukan demikian cara beribadah yang benar. Beliau pun menjelaskan bahwa badan manusia pun memiliki hak untuk dijaga kesehatannya.. dalam menjalankan peran2 kita, kadang kita mengabaikan jeritan nurani maupun tubuh yang sudah kelelahan. Pada hakikatnya, perbuatan kita itu justru menentang syariat.. karenanya beristirahatlah ketika badan dan nurani sudah merintih letih. Carilah jalan keluar lain untuk masalah kita tanpa harus mengorbankan kesehatan tubuh kita..”
“Agar tidak berlangganan obat-obatan migraine ya pak?” ujarku tanpa makna..
“Jazakumullah sahabat” kataku penuh syukur “Hanya Allah lah yang dapat membalas kebaikan antum yang tidak ternilai ini”. Dan hari itu tak ada kata-kata selain Alhamdulillah memenuhi hati saya.

Sejak itu saya perlahan-lahan mempraktekkan processed oriented management pada diri sendiri dengan menggunakan Qur’an dan Hadits sebagai pedoman ISO nya.

Sejak itu pula saya rajin membawa nama-nama orang yang saya cintai serta gambar pesawat dalam dompet saya. Untuk mengingatkan bahwa setiap hari saya dapat berbuat apa saja demi menyenangkan Zat Yang Maha Mencintai & selalu pasrah kepada Pilot Yang Maha TInggi yang akan senantiasa menerbangkan hidup saya di dalam pesawat yang terbuat dari sifat Ar-Rahman & Ar-Rahim.

Sampai hari ini, saya masih tetap belajar untuk ikhlas dan pasrah. Namun Alhamdulillah sudah lama berhenti menjadi pelanggan obat-obatan migraine dan sakit kepala.

Wallahualam Bissawab

4 comments:

mursalin nasser said...

He...he...he...Jos Gandos Pak.
Sudah lama sekali kita tdk diskusi nih.

Ikhlas, pasrah, berserah diri; sungguh kata-kata yang indah untuk dinikmati (bukan cuma enak didengarnya saja ya pak).

Seorang pilsuf Tiongkok Lao Tze, yang kemudian pemikirannya dijadikan keyakinan oleh sebagian orang (Taoisme) dengan kitabnya Tao Te Tjing juga pernah menguraikan kalimat indah "Ching Qing Wu Wei" Diam, tenang, biarkan semua mengalir apa adanya. (i'm sorry bos, bawaan ilmu kuliah dulu nih; bacaannya pilsafat cina mulu).

btw, back to ikhlas & pasrah. Hulu-nya sebenarnya adalah Sabar menurut saya. Sabar menghadapi cobaan; baik kesusahan maupun kesenangan menurut ukuran orang kebanyakan (dua-duanya adalah cobaan). Ingat tulisan saya tentang kisah kakek & cucunya yang beroleh kuda ?.

Setelah kesabaran kita terasah; next kita akan masuk kearea ikhlas, pasrah, nrimo (kata org jawa) atas segala hal yang terjadi pada diri & orang2x yg kita sayangi.

Kalau saya senang berkaca didepan cermin sambil mengajak bicara "hati" saya pak. Apa saja yang sudah saya lakukan kemarin & hari ini; mau apa saya besok dan lusa. Saya beritahu "dia" untuk selalu sabar, ikhlas, pasrah, tawakal dalam menjalani hidup yang fana ini.

Demikian partisifasi saya diblog bapak. Btw, mohon link untuk blog saya diubah dari www.mursalin-nasser.blogspot.com (krn sdh inactive) menjadi www.mursalin-huangdi.blogspot.com

Wassalam,

Kristina Dian Safitry said...

Sebuah renungan yang cukup bermanfaat (untuk saya). ikhlas dan pasrah. ya, say sedang mencoba meraih itu.

ppob said...

mantab artikelnya, terima kasih atas infonya

Pekanbaru said...

Insya Allah Sabar dan Tawakal adalah kunci kehidupan kita di dunia amiiin
Mampir yo : Pekanbaru