Saturday, December 30, 2006

Ketika Seorang Kapitalis Tercengang Oleh Imam Al Ghazali

Pendidikan sejak TK hingga MBA ternyata membuat saya terjebak dalam dunia sekuler. Ibadah bagi saya adalah: shalat, puasa, baca qur’an, zakat-infaq-sodaqoh, dan berhaji. Sedangkan belajar ilmu ekonomi, meeting tepat waktu, menepati janji, berkata baik pada pembantu di rumah dan begitu banyak hubungan manusia lainnya adalah bukan ibadah. Akibatnya saya bisa saja dengan tenangnya membentak pembantu di rumah, membiasakan jam karet di kantor dan bermalas-malasan belajar. Yang penting sholat tepat waktu, sesekali sholat sunah, sholat tahajud kalau pas ada kebutuhan, tamat puasa Ramadhan, rutin ber ZIS, dan sesekali berzikir sampai subuh. Bagi saya itu menunjukkan bahwa saya rajin beribadah. Karenanya saya yakin banget bakal masuk surga dengan cara beribadah seperti itu.

Dengan mendefinisikan ibadah seperti ini, saya bisa mengerti mengapa departemen agama – yang berisi orang-orang rajin sholat, puasa, baca quran, rutin ber ZIS, dan bertitel haji – merupakan salah satu lembaga yang sarat korupsi di negeri ini. Dan saya bisa mahfum kenapa Indonesia – negara berpenduduk muslim terbesar -- senantiasa menjadi jagoan negara terkorup di dunia. Karena shalat, puasa, baca quran dll dianggap tidak ada hubungannya dengan korupsi, atau lebih parah lagi bisa dianggap pencuci dosa para koruptor tsb.

Hasilnya jelas. Saya pun tumbuh menjadi seorang kapitalis sejati yang sangat profit oriented namun menjalankan shalat, puasa, baca qur’an, zakat-infaq-sodaqoh, dan bercita-cita naik haji.

5 tahun lalu saya mulai curiga dengan cara beribadah saya yang tidak juga memberi nilai tambah secara merata pada lingkungan sekitar saya. Padahal rasanya sholat jarang yang tidak tepat waktu, sholat sunah semakin sering, baca quran makin rutin, dll pokoknya nyaris sekualitas lulusan pesantren. Nah, kalau Islam adalah Rahmatan Lil Alamin (Rahmat Bagi Seluruh Alam), maka harusnya eksistensi saya senantiasa bisa memberi kebaikan pada lingkungan di mana saya sering beraktifitas. Nyatanya tidak tuh. Hanya di lingkungan tertentu saja saya mampu memberikan nilai tambah, dan hampir semua dalam konteks meningkatkan business networking.

Setelah hunting definisi ibadah dari buku-buku karya Yusuf Qordhowi, Ibnu At-Thaila, dan M. Quraisy Shihab maka tersadarlah saya bahwa definisi ibadah yang sempurna adalah keseimbangan antara ibadah mahdoh (ibadah vertikal antara manusia dengan Allah yang senantiasa saya lakukan) dan ibadah muamalah (ibadah horisontal antara sesama manusia demi mencari ridho Allah yang selama ini tidak pernah saya anggap ibadah). Artinya kualitas hubungan antara manusia harusnya berbanding lurus dengan kualitas ibadah mahdoh seseorang. Sejak itu saya berusaha ekstra keras untuk merubah paradigma berpikir saya soal ibadah.

Dalam rangka menyeimbangkan ibadah mahdoh dan muamalah itulah akhirnya di awal 2006 saya memutuskan untuk kuliah Ekonomi Islam di UI dengan paradigma seorang kapitalis yang senantiasa berusaha menyeimbangkan ibadah mahdoh dan muamalah.

Sebagai kapitalis tulen, maka saya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang ekonomi Islam. Di benak saya sistem ini adalah sitem ekonomi tanpa bunga (baca: tanpa riba) yang perlu ditingkatkan kualitas bisnisnya dengan Business Administration ala Harvard University. Saya yakin, dengan pengalaman dan ilmu administrasi bisnis barat yang saya miliki, maka saya akan memberi banyak nilai tambah pada konsep ekonomi Islam. Dan saya salah besar.

Selama ini, tujuan berbisnis yang saya kenal adalah untuk meningkatkan Return On Investment dengan cara apapun yang sesuai dengan etika bisnis di Indonesia. Tanggung jawab sosial tentu akan saya jalankan sejauh itu berhubungan dengan konteks pengembangan usaha jangka panjang. Namun tiba-tiba saya dihadapkan pada suatu konsep ajaib mengenai tujuan berbisnis Islami yang harus sesuai dengan makosyid syariah (MS).

Terjemahan MS adalah: Tujuan Syariah. Menurut Imam Ghazali tujuan diterapkan syariah yang bersumber pada Al Quran dan hadits adalah untuk melindungi: (1) agama (2) jiwa (3) akal (4) keturunan (5) harta. Keputusan apapun (bisnis maupun non-bisnis) akan dikatakan BAIK apabila bisa meningkatkan kualitas MS secara keseluruhan, dan sebaliknya akan dikatakan BURUK apabila akan menurunkan kualitas MS secara keseluruhan maupun sebagian. Artinya? Selama 40 tahun saya hidup di dunia, saya hanya mempelajari komponen ke-5 dari MS yaitu harta. Yang 4 lagi tidak pernah saya jadikan faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Subhanallah, saya bersyukur Allah membimbing saya pada ilmu yang dahsyat ini. Alih-alih memberi nilai tambah pada ekonomi Islam, malahan saya jadi minder dengan ilmu barat yang selama ini saya miliki.

Setelah beberapa bulan membiasakan diri menggunakan MS sebagai alat ukur baru dalam mengambil keputusan, maka tiba-tiba saya dengan mudah melihat bahwa banyak bencana maupun masalah di negara ini adalah karena tidak menggunakan MS sebagai tolok ukur baik/buruk dan sukses/gagal. Kontraktor Lapindo tidak akan mengabaikan penggunaan casing pada alat pengebornya yang menyebabkan bencana lumpur panas kalau saja mereka menempatkan komponen jiwa sebagai faktor yang harus dilindungi dari segala resiko. Sekarang semburan lumpur itu bukan saja merusak jiwa (mati maupun kesehatan buruk) malah juga merusak akal (karena sekolah terganggu), dan menghancurkan harta (karena rumah tenggelam). Korupsi itu jelas merusak agama (mencuri dilarang agama) dan harta (mengurangi daya beli akibat ekonomi biaya tinggi. Kalau korupsinya di produk-produk sembako, bisa-bisa merusak jiwa juga karena masyarakat akan kekurangan pangan akibat harga sembako menjadi tinggi. Sebagai seorang pengusaha rumah produksi, tentu saya tidak akan membuat tayangan sensual yang mendorong orang berzinah (merusak keturunan), tayangan yang membuat orang suka kekerasan (merusak jiwa), tayangan yang mengajak orang minum minuman keras (merusak akal), atau tayangan yang menghalalkan penjarahan/pencurian (merusak harta).

Mantan Deputy PM Malaysia Dr Anwar Ibrahim ketika berbicara di depan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) mengatakan dengan jelas bahwa: Bank Syariah bukanlah hanya non interest compliance (menjalankan bisnis tanpa riba) tapi seharusnya Makosyid Syariah Compliance. Karena kalau tidak, maka bank syariah tidak akan berbeda secara signifikan dari bank konvensional dan akan terjebak pada profitability focused saja. Datuk Anwar juga menitipkan pada Meneg BUMN Sugiharto yang hadir sebagai Pembina MES untuk mulai memikirkan agar BUMN menggunakan alat ukur MS yang InsyaAllah akan memberikan manfaat jauh lebih besar pada masyarakat.

Ini baru satu konsep yang membuat saya – seorang kapitalis – tercengang-cengang kepada Imam Al-Ghazali. Belum lagi kenyataan bahwa beliau juga sudah memiliki konsep mengenai fungsi uang, pasar yang efisien, permintaan & penawaran ratusan tahun sebelum konsep-konsep tersebut di kemas ulang oleh ilmuwan-ilmuwan barat.

Islam memang agama yang sempurna dengan Quran dan haditsnya. Islam pun mendorong ilmuwan-ilmuwan klasiknya untuk menciptakan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang luar biasa. Namun bahkan dari kacamata seorang kapitalispun, saya bisa menyimpulkan bahwa kita belum menjalankan dienul Islam sebagaimana seharusnya sehingga Islam bisa menjadi rahmat bagi alam semesta (baca: rahmat bagi keluarga, tetangga, kerabat, karyawan, atasan, sahabat, orang miskin, pemerintah, dll).

Mari berdoa dan berusaha keras agar kita mampu menjadikan makosyid syariah sebagai faktor penentu dalam pengambilan segala keputusan hidup. Kita harus mengakui bahwa ini bukan pekerjaan mudah. Tapi paling tidak, kita bisa mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita.

Bandung, Desember 2006, di tengah gema takbir menjelang Idul Qurban.
Wassalamualaikum wr wb

No comments: