Sunday, January 7, 2007

Film yang Halalan Thoyiban (Halal dan Baik)

Menu sayur dan buah-buahan jelas halal dan thoyib bagi saya. Tapi menu tongseng dan sate kambing (alamaak enaknya..) untuk manusia berusia kepala 4 seperti saya bisa masuk kategori halal dan tidak thoyib. Ya maklum lah di usia ini biasanya orang sudah akrab bergaul dengan kolesterol dan asam urat. Dan kolesterol itu karibnya stroke dan penyakit jantung (nauzubillah). Tapi teman saya yang rajin olah raga, tidak merokok dan banyak minum air putih, menu nasi goreng kambing kebon sirih Jakarta bisa disantapnya tiap hari walau sudah kepala 4. Baginya, menu kambing tetap halalan thoyiban karena pola hidup sehatnya yang membuatnya jauh dari kolesterol dan asam urat. Lha saya, walau tidak merokok, kalau disuruh olah raga itu mualesnya minta ampun. Jadi saya lebih memilih mengurangi makan kambing daripada olah raga (hmm prioritas yang agak kacaw ya?)

Dalam menonton film, ternyata ada juga rumus halalan thoyibannya. Untuk soal halal, kita cukup melihat tema sentral film tersebut. Bila tema sentralnya adalah mengeksploitasi sex, ghibah, atau hal-hal yang merusak aqidah ya jelas makruh atau haram.

Tapi bagaimana soal thoyib? Nah, sebelum tau thoyibnya, kita harus tau termasuk kategori penonton macam apakah kita ini? Menurut pengamatan saya (tanpa riset ilmiah ya..) ada beberapa kategori, yaitu penonton yang:

  1. Menonton semata untuk hiburan dan melupakan rutinitas hidup. Tidak perduli dengan isi cerita dan kualitas film sebagai sebuah produk seni. Habis nonton, biasanya kalau ditanya: ”gimana filmnya?” jawabnya: ”yaa gitu deh..” lalu langsung mengalihkan topik seperti ”Eh, mau makan di mana sekarang? Laper nih gue..”.
  2. Menonton sebagai hiburan, tapi percaya dengan isi cerita walau tidak masuk akal. Bahkan ada juga yang mencoba meniru beberapa adegan dalam film tersebut. Ketika saya nonton film Rambo dulu, sekeluarnya dari bioskop saya berjalan dengan membusungkan dada dan tangan terkepal. Saya berjalan seperti Rambo yang siap menembak dan menghajar siapa saja. Badan kekar Rambo seperti menempel di tubuh saya. Saya betul-betul merasa seperti atlit bina raga, walaupun lebih cocok sebagai atlit bina rangka saking kurusnya. Sehabis nonton ”Berbagi Suami” saya sempat dengar komentar seorang ibu gemuk pada suaminya di bangku belakang saya ”Tuh, poligami gak ada untungnya kan? Makanya jangan macem-macem..” saya menengok ke belakang dan nyengir kuda. Si suami yang bertubuh kurus membalas dengan nyengir masam dan memelas. Bagus mana nyengirnya? Ya mending nyengir kuda dong.. paling nggak lebih pede lah dari yang memelas.
  3. Menonton film sebagai produk seni. Karenanya cerita tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan penontonnya karena dianggap produk. Berhubung saya juga bergerak di bisnis film dokumenter, maka saya masuk kategori ini. Menonton karena cari hiburan sambil cari ide. Sering saya membuat catatan ketika nonton. Sampai-sampai ada penonton disebelah saya bertanya sekenanya: ”Mas, mahasiswa IKJ yang lagi bikin skripsi film ya..”. Padahal kalau dia memperhatikan dengan seksama postur tambun dan tampang babe-babe dengan rambut putih yang saya miliki, pasti dia gak nanya seperti itu (mungkin karena bioskopnya gelap kali ya?). Ya demi sopan santun saya jawab sekenanya: ”Nggak Mas, saya lagi ngerjain tugas OSPEK.. maklum mahasiswa baru..” Dan si penanya pun langsung terlihat kapok untuk bertanya lebih jauh lagi.

Nah, kalau kita masuk kategori 1 & 3, maka kita cukup bebas memilih tema film. Termasuk horor misalnya. Karena isi film tidak akan mempengaruhi kehidupan kita. Tapi bila kita masuk kategori 2, maka kita harus pandai-pandai memilih film. Penonton kategori 2 yang penakut tentu tidak akan menonton film horor karena film tersebut akan membuat dia susah tidur dan menjadi tambah penakut. Penonton kategori 2 tentu akan menonton film-film Islami semacam Kiamat Sudah Dekat atau Rindu Kami Padamu sehingga mudah menjalankan pesan-pesan religiusnya. Penonton kategori 3 tentu akan mudah berperilaku seperti kategori 2 untuk film-film religius. Namun penonton kategori 1, Wallahualam. Soalnya saya pernah ketemu teman (yang masuk kategori 1) sehabis nonton film Kiamat Sudah Dekat. Ketika ditanya kesannya soal film Deddy Mizwar itu, jawabnya standar ”Ya, gitu deh.. Eh lu rambutnya kok makin trondol sih?”

Kesimpulannya, kalau kita adalah penonton kategori 2 yang penakut, maka film horor menjadi tidak thoyib. kalau kita penonton kategori 2 yang boros, maka film-film yang menonjolkan gaya hidup hedonis tentu menjadi tidak thoyib. Karena itu, biasakan membaca resensi sebuah film sebelum menonton. Dari sana kita bisa mengukur apakah film tersebut merupakan film yang thoyib untuk kita.


Wallahualam Bissawab

1 comment:

BudiAditia said...

Ada yg bilang, "...ngapain nonton film horor?!?! Nonton kok ditakut-takutin ...?!?!". Nonton yaa macem-macem motifnya. Sekedar hiburan bisa, atau mau cari ide (cari ide? bukan nyontek yaaa...), atau bisa menikmati karya seni orang lain, atau bisa untuk mencari hikmah/media pembelajaran diri). Nonton film juga bisa dipandang ibarat "madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu", mau apa kita setelah nonton suatu film; bisa bermanfaat bagi kita bisa sebaliknya. The choise is ours .... OK?