Thursday, February 15, 2007

Tradisi Keilmuan Islam

Anak-anak saya belajar di sekolah Islam. Saya bersyukur bahwa sekolah tersebut senantiasa mendorong muridnya untuk bertanya dan berpikir kritis. Akibatnya guru harus senantiasa siap untuk selalu memuaskan dahaga ilmu siswanya.

Tidak semua murid sekolah Islam maupun pesantren seberuntung anak-anak saya. Banyak sekolah terutama pesantren yang masih menerapkan tradisi sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami patuh. Dulu ketika SD saya pernah dimarahi seorang guru karena dianggap terlalu banyak bertanya. Padahal tradisi keilmuan Islam tidak mengajarkan seperti itu.

Coba tengok cara Imam Al-Ghazali belajar dari Imam Al-Haromaini. Imam Al-Haromaini mengajarkan sebuah topik, lalu murid-muridnya mencatat. Kemudian catatan tersebut harus diperlihatkan kembali pada Imam Al-Haromaini untuk memperoleh approval bahwa pemahaman sang murid sama dengan pemahaman sang guru. Murid pun dibebaskan untuk mengomentari pengajaran guru dengan menulis catatan kaki dari halaman catatan mereka. Komentarnya bisa bersifat mendukung maupun membantah.

Suatu ketika, Imam Al-Ghazali menyerahkan catatannya beserta catatan kakinya yang panjang pada Imam Al-Haromaini. Setelah membacanya, sang guru berkata:
“Engkau menguburku hidup-hidup dengan catatan kakimu ini. Mengapa tidak kau buat setelah aku mati saja?” Kata-kata ini adalah bentuk pujian guru pada muridnya karena catatan kaki Imam Al-Ghazali banyak mematahkan argumen gurunya. Ini menunjukkan kadar kebebasan sang murid dalam mengemukakan pendapatnya. Dan tradisi ini pun terus berlanjut hingga datangnya masa pemaksaan cara berpikir rasional oleh kaum mu’tazilah sehingga tradisi pengajaran lambat laun menjadi lebih satu arah.

Satu lagi tradisi keilmuan Islam yang menurut saya luar biasa adalah masa perburuan buku-buku. Ketika itu orang-orang Romawi sangat tidak menghargai buku-buku keilmuan (terutama filsafat) karya orang-orang Yunani sehingga buku-buku tersebut banyak dijual di pasar loak. Lalu buku-buku tersebut diborong atas perintah Khalifah untuk kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dan dipelajari oleh ilmuwan-ilmuwan muslim maupun santri-santrinya.

Topik-topik yang diajarkan dalam sekolah-sekolah kala itu adalah agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah tuntutan agama (Iqro Bismirabbika)dan agama menuntun ilmu pengetahuan sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Karenanya banyak ilmuwan-ilmuwan Islam klasik yang ahli fikih sekaligus dokter (Ibnu Sina & Ibnu Rusdi), atau sekaligus ahli sosial & ekonomi (Ibnu Thaymiah, Ibnu Khaldun, Abu Hanifah), atau sekaligus ahli astronomi, dll.

Kedudukan ilmuwan maupun guru menempati tempat terhormat di masyarakat. Penghasilan mereka pun tinggi. Sebuah buku terjemahan biasanya ditimbang, lalu penterjemahnya akan diberi emas seberat buku tersebut. Gaji guru termasuk golongan gaji tertinggi di dalam struktur gaji kekhalifahan Islam.

Tradisi di atas mengingatkan saya di awal kebangkitan Jepang. Ketika perubahan dilakukan oleh Kaisar Meiji yang dikenal dengan nama Restorasi Meiji, prioritas utama Kaisar adalah membiayai orang-orang Jepang untuk belajar teknologi Barat dan menerjemahkan sebanyak-banyaknya buku barat ke dalam bahasa kanji serta membuka akses seluas-luasnya terhadap buku-buku tersebut. Disadari atau tidak, Jepang mengikuti tradisi keilmuan Islam di awal kebangkitannya. Perlu diingat, tradisi keilmuan Islam ini lah yang sesungguhnya membawa Islam mencapai puncak kejayaannya secara ekonomi maupun politik di masa lalu. Dr. Umer Chapra mengemukakan bahwa terpuruknya umat Islam saat ini dikarenakan jauhnya umat dari Qur'an, hadits, dan ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya gak berani komentar ah, takut stress. Tapi paling tidak pemerintah kita saat ini (katanya) sudah mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan. Mudah-mudahan sebelum membelanjakan anggaran pendidikannya, pemerintah bisa belajar dari tradisi keilmuan Islam sehingga bisa membuat prioritas yang benar dalam memajukan bangsa Ini.

Dengan doa, tawakal, dan kerja keras, InsyaAllah Indonesia akan bangkit suatu saat.

Ucapan terimakasih atas kunjungan dan komentarnya: Bang Insa; Nila Obsidian; Muiz; cc-line (Landy, saya contek kata-katamu ya..thanks)

Wallahualam Bissawab.

5 comments:

Rudi P. Kiswanto said...
This comment has been removed by the author.
Rudi P. Kiswanto said...

Benar sekali Pak Hanafi. Hal itu memang sudah menjadi kegalauan kita semua sebenarnya. Namun apa solusinya? Kalaupun iya ada yang saya lihat sekolah islam yang baik dgn metode tidak hanya dicekoki oleh hafalan saja, tapi ditekankan kepada spiritualnya, emotionalnya sehingga otak kanan juga ikut aktif. Dan ternyata itupun biayanya cukup mahal. Padalah yang saya tahu biaya pendidikan sesungguhnya kalau perlu gratis. Yah... mudah2an paling tidak minimal dilingkungan keluarga kita sendiri yang mampu membentuk hal tersebut sebagai miniatur negara..... Amin....

Anonymous said...

Anak2 saya juga sekolah di SD Islam, dengan buku 'tematik'nya... cuman agak beda dg punya Diknas, karena kuikulumnya gak berbasis kompetensi... tapi berbasis Tauhid !! bahkan buku ajarnya, terpaksa sekolah bikin sendiri dengan tanpa mengabaikan kurikulum Diknas, biar mampu bersaing di luar.
Bahkan menurut pengelola sekolah, yg namanya Sekolah Unggulan, bukan yg masuknya diseleksi ketat... dipilih yg pinter2 aja dan yg mampu bayar mahal. Kalo itu mah yg unggulan muridnya bukan sekolahnya.
Makanya dit4 anakku2 sekolah, masuknya gak pake test, sekolahnya di tengah sawah, biayanya terjangkau karena model subsidi silang, bagi yg mampu biayai lebih dari 1 orang silahkan... walaupun anaknya yg sekolah cuman 1 orang. Bahkan ada walimurid sekitar sekolah yg hanya mampu bayar SPP dengan benerin genteng sekolah kalo bocor.... !!

ismansyah said...

"Penghasilan mereka pun tinggi. Sebuah buku terjemahan biasanya ditimbang, lalu penterjemahnya akan diberi emas seberat buku tersebut"

Wah.. saya tercengang mendengar kalimat diatas. Sering kali buku-buku 'bagus' (gak populer di masyarakat Indonesia) dijual dengan harga sangat murah. Gak kebayang sebuah buku yang mungkin merengut waktu dan pikiran seorang penulis selama beberapa tahun hanya dihargai 15 ribu rupiah.Meskipun tidak berarti harga buku harus mahal, tapi seperti yang diisyaratkan pak Hanafi tadi, harus ada campur tangan lebih dari Pemerintah untuk menghargai mereka.

Oiya..dulu pas masih di taman kanak-kanak pernah nanya ama ibu gurunya "bu, Tuhan itu lelaki apa perempuan?" Tapi ibunya malah mengadu ke orang tua saya dan bilang kalau saya telah menanyakan sesuatu yang aneh pada dia hehehe. Untungnya ayah saya hanya tertawa mendengarnya

Anonymous said...

Assalamualaikum pak Hanafi.. :) kebetulan nama kita sama ya pak.. saya tertarik dengan artikel Bapak. Boleh saya coba comment ya pak..

Menurut saya.. apa yang Bapak ceritakan adalah kemajuan islam pada jaman tabi'ut tabiin. Dimana pada saat itu kemajuan ilmu dalam islam demikian tinggi. Sehingga orang-orang berlomba-lomba menuntut ilmu agama. Namun sejarah juga membuktikan bahwa Bagdad sebagai pusat kekhalifahan dan keilmuan telah pula di hancurkan oleh Allah dengan dikirimnya bangsa mongol dan mereka telah membunuh ribuan alim ulama dan membakar kitab2 islam, Hingga darah2 para alim ulama mewarnai sungai2 di Bagdad. (kalau tidak salah sungai tigris dan sungai efrat - mohon dibenarkan mengenai nama sungainya)

Hingga peristiwa itu dicatat dalam sejarah sebagai awal kehancuran islam. Padahal kedudukan ilmu pada saat itu demikian tinggi. Ilmu agama saat itu demikian dimuliakan dan demikian sempurna hingga orang2 islam membahas sesuatu yang tidak ada dalam syariah, (misalnya membahas bagaimana hukumnya jika ada anjing yang lahir dari seekor domba, apakah dagingnya halal atau haram)

Namun kenapa justru Allah Swt. menghancurkan Bagdad. Mereka (orang2 islam-red) pada saat itu telah melupakan satu hal yaitu dakwah dan berkorban untuk agama. Mereka terlalu asyik menuntut ilmu dan melupakan tanggung jawab dakwah. memang pada waktu itu ada dakwah namun dakwah yang mereka kerjakan dilakukan dengan cara sendiri-sendiri dan masing-masing. Dakwah yang mereka kerjakan tidak dengan cara berjamaah. Islam adalah agama jamaah. Hingga nabi kita mengajarkan bahwa makanpun kalau bisa dengan berjamaah. Apalagi dakwah. Jika ummat islam meninggalkan jamaah maka Allah tidak akan memandang ummat islam.

Ketinggian islam adalah apabila orang-orang islam cinta akan perjuangan sehingga amal agama dapat kita amalkan secara sempurna. Bukan hanya sekedar ilmu tanpa amal. Begitu juga amal juga butuh ilmu agar amalan kita dapat sesuai contoh nabi. Jika amal dilakukan tanpa ilmu dikhawatirkan amalnya akan melenceng dari syariah. Jadi keduanya harus berjalan selaras dan berdampingan.

Nabi kita mengajarkan bahwa pendidikan yang paling utama adalah ketika anak berada di rumah. Rumah adalah madrasatul 'Ula. Jika kita mengenyampingkan rumah sebagai madrasah yang paling utama maka kita akan kehilangan kesempatan untuk mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anak kita. Maka perlu dibuat ta'lim agama di rumah kita. Masuknya Umar bin Khattab kepada islam adalah karena adanya ta'lim di rumah adiknya yakni Fathimah binti Khattab ketika mereka membaca mahzab2 Al Quran.

Jaman Nabi dan Sahabat anak2 mereka telah menjadi ahli-ahli amal karena di rumah2 mereka ada ta'lim rumah yakni senantiasa mengulang lagi apa yang mereka dapat di masjid nabawi dan disampaikan kepada ahli rumah. Maka bertumbuhannlah hafidz2 Quran, ahli2 sedekah, ahli2 tahajud, ahli2 jihad dari rumah2 mereka. Ta'lim rumah adalah pondasi dan bentuk pendidikan awal yang telah dibangun oleh nabi dan para sahabat hingga islam mencapai jaman keemasan pada masa kekhalifahan sahabat Umar r.a.

namun di balik itu semua para sahabat adalah semuanya selalu cinta akan pengorbanan atas agama dan senantiasa mereka menjadi da'i-da'i Nya Allah Swt. Karena adanya pengorbanan atas agama lah islam dapat tumbuh dan berkembang hingga ke seluruh dunia. Jika kita hanya mementingakn ilmu tanpa dakwah maka sejarah Bagdad akan terulang kembali.

"Penghasilan mereka pun tinggi. Sebuah buku terjemahan biasanya ditimbang, lalu penterjemahnya akan diberi emas seberat buku tersebut"

Kalimat ini mesti dipahami bahwa ilmu bukan sebagai bahan jual beli. Ada seorang ulama yang tidak mau di bayar atas pengajarannya pada sebuah madrasah. Saya kira ini akan lebih baik. Kalimat diatas adalah sebagai bentuk penghargaan atas keilmuan seseorang pada jaman itu.

Pada jaman tabi'ut tabiin pun ada ulama2 yang hidup mewah dan ada ulama yang hidup dengan penuh kesederhanaan dan zuhud terhadap dunia serta cinta kepada Akhirat. Kita mesti bisa memilah mana ulama yang cenderung kepada akhirat mana ulama yang masih ada cinta kepada dunia. Bahkan dikatakan jika ada ulama yang cinta dunia maka pasti pernyataan nya tentang hukum agama salah. Karena agama adalah amalan untuk akhirat bukan untuk dunia.

Sekarang ini adalah jaman serba fitnah, jika kita salah dalam memahami agama maka saya khawatir
kita akan tersesat jalan menuju surga.. Aduuh mohon maaf yang sebesar2 nya pak. saya kok jadi semangat sekali ya.. mohon bimbingannya jika saya salah. Salam hangat selalu dari saya. Semoga rahmat Allah Swt. selalu menyertai Bapak sekeluarga. :)